Cerpen Demokrasi

Cerpen DemokrasiKarena Dul Agus tidak henti-hentinya merayu Dul Sabar, dalam hati Dul Sabar mengadu pada Tuhan “Kanjeng Gusti. Selama  hidupku ini sudah aku abdikan untukmu. Tapi untuk keputusan ini ya, saya jangan dimarahilah , Lha sampean kan lebih tahu dari pada saya. ”
Siang itu,di gubuk tengah pematang sawah yang dikelilingi padi-padi yang menguning seolah mengajak untuk cepat-cepat di anai, dan aneka satwa yang secara sembunyi-sembunyi atau pun secara terang-terangan menikmati nikmat masa-masa akan panen. Ditambah udara spoy-spoy  mengajak beberapa kumpulan belalang untuk hinggap di beberapa batang padi, Dul sabar memandangi hamparan sawah yang ada di depannya. Sesekali bersiul mengarang sebuah nada, tapi tidak pernah selesai karena tidak kuat nafasnya yang ia hembuskan. Di tengah aktivitasnya ia melihat seseorang yang tidak asing baginya, namun ia enggan menyapa terlalu dini karena ia sudah tahu pasti orang tersebut tujuannya menemuinya.Tidak disangka saat itu yang mendatanginya adalah kakaknya sendiri, Dul Agus. Awalnya Dul Sabar tidak menaruh curiga terhadap kakaknya. Namun kecurigaan pun muncul takala Dul Agus menghampirinya dengan membawa sesuatu yang dibungkus kantong kresek yang niatnya untuk diberikan ke adiknya sendiri.
“Bar, gimana kabarmu? sehat to?”
“Heh, ada kowe Kang, Aku sehat. Tumben datang ke sini, dengan bawa bungkusan, habis gajian ya Kang?”
“Kamu itu Dul bisa saja. Oh. Cuma mampir, dan maksud kedatanganku ke sini juga ingin membicarakan sesuatu Dul dengan kamu,” dengan suara yang agak bergetar karena belum yakin Dul Sabar tertarik dengan sarannya.
“Mau membicarakan tentang apa Kang?” Dul Sabar mengerutkan dahinya.
Dul Agus panjang lebar bercerita terkait maksud kedatangnya ke tempat Dul Sabar angon bebek. Terjadilah perdebatan sengit antara sang kakak dan sang adik terkait masalah pemilihan kepala desa  mendatang. Bagi kakaknya pemelihan kepala desa mendatang sangat menentukan nasib karier bekerjanya mendatang. Karena bagaimanapun juga ia harus mencukupi kebutuhan keluarganya meski sekarang perkerjaannya adalah adalah menjadi kacungnya Pak Kamit. Namun berbanding terbalik dengan sikap kakaknya, Dul Sabar seperti tidak ada beban untuk menghadapai pemilihan kepala desa mendatang. Seperti kebanyakan orang pada umumnya. Untuk pemilihan kepala desa sama halnya seperti acara hajatan manten, ataupun acara-acara lainnya yang berbau mengumpulkan massa. Namun yang dipersoalkan adalah bukan nasib kakaknya namun suara dari Dul Sabar. Karena menurut cerita-cerita yang beredar di masyarakat suara dari Dul Sabar adalah sabdo pandito ratu. Makanya sejak dahulu  dukun-dukun yang membantu para kepala desa di wilayah desa tersebut selalu menyarankan “Jika ingin jadi Lurah, Ya harus minta izin kepada Dul Sabar” katanya. Hal itu sangat dipercayai oleh para calon-calon lurah itu. Namun sudah beberapa periode pergantian Lurah, Hasilnya selalu sama pasti tidak ada yang bertahan lama. Salah satu calon Lurah yang bakal maju mendatang adalah Pak Kamit yang sudah dua kali mencoba menjadi lurah namun selalu gagal. Nah karena begitu kepinginnya menjadi seorang lurah maka cara terakhirnya adalah menjadikan kakak Du Sabar sebagai kacungnya.
Dengan suara yang dimantap-mantapkan Dul Agus mencoba meyakinkan janji-janji yang   diusung Pak Kamit.  “Gimana Dul? Tapi masa cuma memilih kepala desa saja kamu berpikir seperti memilih pemimpin-pemimpin bangsa kita sekarang ini. Apa kurang penawaran-penawaran yang diberikan Pak Kamit. Bebek-bebekmu ini nanti bertambah banyak. Bisa juga kamu bekerja dengan Pak Kamit seperti aku ini. Malah tidak usah jualan angkringan lagi.”
“Lha angkringanku mau dikemanakan Lek? Nanti pelanggan-pelangganku kecewa jika tidak berjualan lagi. Em, bagaimana kalau aku pikirkan dahulu Lek?”
“Lho, bagaimana  kamu itu? Apa kamu itu tidak tertarik dengan penawaranku tadi?”
“Ya, siapa yang tidak tertarik dengan penawaran tadi Lek, tapi masa tidak diberi kesempatan berpikir terlebih dahulu? katanya negara ini sudah demokrasi? tapi orang berpikir kok dilarang.” Jangan-jangan sekarang tertawa juga dilarang?”Apa kelas kita harus sedemikian rupa? dari jaman dahulu pasti tertindas.
            Dul Agus mengerutkan dahinya. “Kamu ini ngomong apa to Dul? Ini itu mumpung ada kesempatan. Kalau ada kesempatan jangan disia-siakan. Mubazir. Ya sudahlah, kamu pikirkan dahulu, nanti aku datang lagi sudah ada keputusan. Pemilihan tinggal 2 minggu  lagi. Apalagi Pak Tua itu sudah rewel karena saingannya juga diam-diam juga sedang mencari massa.”
Dengan wajah lesu yang menyimpan segudang masalah, akhirnya orang suruhan Pak Kamit berlalu.
***
Sambil mengamati bebek-bebek nya  makan dengan lahap, dari gubuk ditengah pematang sawah Dul Sabar berbicara dalam hati.
“Ha-ha-ha. Hari ini aku seperti orang penting saja. Masih sama seperti waktu yang lalu. Bagaimana tidak? Sejak dahulu kok seperti ini. Entah disuruh pilih Presiden, Parpol. Bupati. Lurah. Bahkan Dukuh sudah saya pilih.Apalagi pemilihan RT kemarin. Tapi kok saya masih di cap golput, disangka tidak memihak partai ini, calon ini, calon itu. Padahal aku ini cuma masyarakat seperti kebanyakan. Profesiku hanya sebagai penjual angkringan. Untuk anggon bebek seperti ini hanya sebagai rutinitas saja. Bisa-bisanya orang-orang itu seperti mengharap suaraku untuk memilih mereka. Katanya negara ini sudah merdeka? Bahkan konon kata orang-orang yang sering mampir di angkringan, negara ini sudah demokrasi. Tapi, demokrasi yang bagaimana? Apa-apa kok salah?” Karena keluhannya tidak menghasilkan ide, Dul Sabar memandangi bebek-bebeknya.
            “Bek, saranmu bagaimana ? Orang-orang sekarang  seperti wayang. Apa-apa harus patuh kepada dalang. Takala dalang ngomong demokrasi, wayang-wayang yang digerakan juga harus teriak demokrasi. Lha aku demokrasi yang dimaksudkan juga tidak paham. Setahuku. Aku membebaskanmu mencari makan di sawah ini, Kamu aku buatkan kadang sebagai tempatmu tidur. Niatnya hanya supaya kamu bertelur di kandang.Tapi 
Aku tidak mempersoalkan kamu mau bertelur banyak tidak. Aku tidak mempersoalkan jika kamu tidak mau bertelur. Bahkan hasil dari telurmu itu sebagian aku jual untuk membeli setidaknya dedak untuk kamu makan juga, dan sebagian lagi telurmu  sebulan sekali kubagikan ke pemilik sawah ini. ”
Setelah berkeluh kesah kepada bebek-bebeknya yang sedang asik mencari makan di seputaran gubuk. Tiba-tiba bebek mengutarakan pendapatnya.
“Ya, Tuan sudah benar. Tuan sudah merawatku dengan baik. Lantas kewajibanku adalah memberi tuan telur-telur ini. Janganlah gusar Tuan. Nanti jika Tuan diadili. Saya dan teman-teman bebek-bebek yang Tuan pelihara siap menjadi saksi. Saya siap menjadi saksi bahwa Tuan telah adil dan demokratis. Tapi jangan di pengadilan dunia. Kadang demokrasi di dunia itu hanya untuk kaum berduit tebal. Ikuti kata hatimu. Tuan. ”
Beberapa saat kemudian Dul Sabar terkaget-kaget. Bagaimana tidak, lagi enak-enaknya berdiskusi dengan bebek tiba-tiba dihadapannya muncul Dul Agus. Dengan wajah yang semakin pucat lesu.
“Sudah ada keputusan Dul? aku sangat berharap sekali dengan suaramu memilih Pak Kamit menjadi Lurah di Desa ini.”
“Sudah. Ya, aku  memilih Pak Kamit menjadi Lurah di Desa ini. Tentang janji-janji itu. Aku tidak butuh. Saya ikhlas mencoblos. Dan ini juga, tolong bawa kembali sembako ini, di rumah stok sembako  masih ada.”
“Terimakasih Dul,  aku akan melaporkan pesanmu ke Pak Kamit. Tapi sembako ini untukmu Dul, Pak Kamit ikhlas memberi sembako ini.”
“Ya sudah aku terima sembako ini.” Setelah sembako diserahkan lagi ke Dul Sabar, tiba-tiba Dul Sabar menyerahkan kembali ke kakaknya.
“Sembako ini, buat anak istrimu di rumah. Sudah. Jangan menolak. Toh kamu lebih butuh ini dari pada aku. Dan sampaikan kepada anakmu si Sawung. Jika besok sate keongnya tolong antar  yang agak banyak. Soalnya pelanggan angkringanku banyak yang menyukai satenya.”
“Iya, Dul, terimakasih banyak”
 Sambil berlalu dengan wajah yang berbinar-binar, orang suruhan Pak Kamitpun berlalu. Jerih payahnya merayu Dul Sabar tidak sia-sia, dan juga sembako yang tadinya dia beli untuk Dul  Sabar dari kantong sakunya bukan dari kantong Pak Kamit menambah kegembiraan si orang suruhan Pak Kamit.
***
Hari pemilihan tiba. Berduyun-duyun orang ke TPS. sekedar memilih atau sungguh-sungguh paham akan calon yang dipilihnya kelak akan mensejahterakan  desanya. Tak terkecuali si Dul Sabar. Dengan wajah yang dibuat mantap dan langkah kakinya yang dibuat-buat seperti langkah kaki orang-orang yang akan menyoblos kebanyakan, namun hal yang membuatnya tetaplah Dul Sabar adalah pakaian yang dia kenakan. Pakaian yang kebanyakan tidak mau dipakai orang-orang dihajatan sekelas nyoblos di TPS dia pun pakai. Bagaimana tidak? Dul Sabar memakai sarung usang dan baju batik yang ketiaknya robek dan bahkan kancing bajunya pun tinggal 3. Bukan masalah sopan atau tidak. Persoalnya,  di rumah baju yang tersisa di lemari tinggal itu, dan lainnya baju oblong dan 6 celana yang sering dipakainya untuk gembala bebek dan jualan angkringan.
Di saat Dul Sabar berjalan melangkah ke kotak pemilihan suara. Ternyata dia sedari tadi diamati oleh segelintir orang yang suaranya sangat diharapkan oleh mereka. Boleh aku sebutkan? Yah, Dul Sabar diamati oleh dua orang calon Lurah. Pak Kamit dan Pak Joko. Namun yang sangat mengharapkan suara Dul Sabar adalah Dul Agus. Bagaimana tidak? reputasinya, bahkan pekerjaannya akan hancur jika Dul Sabar tidak memilih Pak Kamit menjadi lurah.
Setelah Dul Sabar menyoblos  berlalulah dia dari TPS itu. Ya tepat. Dul Sabar gembala lagi bebek-
bebeknya supaya tidak dikira tidak demokratis.  
Beberapa saat kemudian karena sangat penasaran dengan Dul Sabar dalam pencoblosan tadi. Untuk memastikannya si orang suruhan Pak Kamit pun lantas mencari Dul Sabar ke tempat biasanya dia selalu ada. Dan ternyata benar. Dari kejahuan Dul Sabar terlihat duduk-duduk di gubuk yang biasanya dia duduki sembari mengamati bebek-bebeknya. Lantas, dengan tergesa-gesa si orang suruan Pak Kamit menghampiri Dul Sabar.
“Dul, gimana tadi? sip to?”
“Tadi? Pemilihan tadi? Sip!”
Si orang suruhan Pak Kamit agak sedikit lega.
“Pak Kamit kan Dul?
“Iyo, aku milih Pak Kamit” Semakin menyeruak senyum dari si orang suruhan Pak Kamit. Namun tiba-tiba terhenyak sesaat.
“Aku tadi, menyoblos Pak Kamit dan Pak Joko”
Dul Agus tiba-tiba terhenyak sesaat.
“Tapi Dul?” Sesaat itu batin Dul Agus campur aduk.” Tapi Dul? Kenapa nyoblos Pak Joko juga?”
“Lha, Pak Joko meminta juga. Bahkan Pak Joko lebih militan dari pada Pak Kamit. Pak Joko malah datang sendiri. Meminta aku mencoblosnya. Namun juga janji-janji yang hampir mirip dengan janji-janji yang diberikan Pak Kamit”.
Berbah, 30 Januari 2014
Catatan
Kang= kakak, biasanya untuk memanggil kakak tertua di sebagian daerah di Jawa
Angon= menggembala
Kowe= kamuDemikianlah isi dari Cerpen Demokrasi 

0 Response to "Cerpen Demokrasi"

Post a Comment