Cerpen Menunggu Ambulance

Menunggu Ambulance
Cerpen Menunggu Ambulance - Jika sebuah negara dengan sengaja dibuat mati  dalam nalar berpikirnya, mudah saja disetir dengan maksud menghancurkannya. Maka trik lama akan digunakan tanpa ada yang menyadarinya. Termasuk dengan negara yang dimaksud. Dan sekarang orang pun sulit percaya dengan orang lain.Entah kapan permasalahan ini berakhir.
Karyo berlari sambil berteriak-teriak setelah keluar Warnet. Orang-orang  di sekitaran warnet pun gempar bukan main. Ada yang berlari tanpa arah arah tujuan, ada yang langsung menggandeng anaknya dengan erat, ada yang berlari menghindari  gedung-gedung bertingkat, ada orang yang karena  panik lalu membuka payung dibawanya ,ada yang berlindung di bawah pohon, ada pun yang berlindung di Pos polisi. Semua saling bertanya ada apa? Setelah diamati, ternyata bersumber dari seseorang lelaki berlari tanpa alas kaki dengan lantangnya berteriak-teriak.”Bahaya! Negara ini sedang dikepung.  Siapkan pejuang yang rela mati. Bagi yang tidak berani,  silahkan berlindung di tempat yang aman”.
“Siapa anak  itu”tanya seorang Ibu kepada orang yang ada didekatnya.
“Tidak tahu.”
“Kenapa dia.”
“Tidak tahu.”
“Kok tidak tahu?”
“Saya tidak tahu, Bu”
“Gimana kamu ini, masa tidak tahu?”
Karena bosan diintograsi orang disebelah ibu pun menjawab dengan ketus.
“Mungkin, orang gila.”
Ibu itu lantas berbalik ketus
“Kamu itu yang  gila!”                                                                                                                       
Orang itu pun lalu sengaja diam tidak meladeni.
“Lho kok diam?” bertanya kembali seorang ibu.
Tanpa pikir panjang orang itu pun berlalu dari seorang ibu yang dipikirannya mungkin dia lelah.
 
Masih ditempat yang sama Karyo masih berlari sambil berteriak-teriak. Sekarang ia malah naik ke atap sebuah mobil yang parkir di tepi jalan. Orang-orang yang  panik lalu mendatanginya dengan menyimapan bermacam-macam pertanyaan.
“Ada apa Nak? Apa yang bahaya?”tanya seorang kakek.
“Bahaya Kek. Negara kita telah dikepung. Sebentar lagi negara kita akan hancur lebur. Kakek sebaiknya berlindung, jika masih kuat, Ayo berjuang untuk menjadi relawan bela negara kek. 
Kakek itu pun masih bingung dengan jawaban  laki-laki yang naik di atas mobil. Lalu kakek itu bertanya lagi.
“Apa maksud perkataanmu?”
“Kita sekarang  sudah seperti   akan kembali ke jaman penjajahan Kek.Negara kita telah dikepung kek. Negara kita akan segera dijatuhkan”.
Kakek itu pun mulai geram
“Dasar Gila!”
“Kakek itu yang gila! Kakek tidak sadar jika negara kita sedang terancam. Aku meragukan dahulu kakek tidak ikut berjuang. Mungkin dahulu hanya sebagai pengungsi atau kacung dari bangsa penjajah!”
Setelah dikatakan sebagai pengungsi dan kacung bangsa penjajah kakek itu pun marah,dan membela diri.
“Tutup mulutmu! Aku dahulu juga ikut berperang. Ya, memang aku akui dahulu juga ada kacung-kacung bangsa penjajah,namun itu hanya seglintir oknum.  Tapi itu bukan aku. Sama seperti sekarang, juga banyak kacung-kacung bangsa penjajah dan bahkan sekarang juga banyak orang pribumi yang menjajah bangsanya sendiri. Tapi aku tidak seperti mereka. Kau lihat ini? kakek itu mengeluarkan sebuah amplop yang berisi beberapa lembar uang  .Sebenarnya aku tidak butuh penghargaan seperti ini. Aku rela mati demi bangsa ini. Karena aku dulu berjuang tidak lain dan tidak bukan hanya untuk kata merdeka. Aku masih ingat ketika serbuan laskar-laskar pejuang kemerdekaan ke ibukota negara yang dikuasai penjajah. Serbuan itu berhasil meski hanya 6 jam, namun berkat 6 jam itu pula yang menjadi salah satu catatan sejarah bangsa ini. Meski  waktu serbuan itu aku juga kehilangan sahabat karibku semenjak kecil, semenjak menjadi preman, semenjak menjadi anggota laskar pejuang, tapi tidak ada rasa kesedihan yang mendalam, karena aku yakin sahabat karibku itu telah berjuang dengan terhormat.”
Setelah panjang lebar bercerita dengan sesekali berurai air mata, kakek itu lalu hilang di tengah orang-orang.
Karyo pun terdiam sesaat. Tanpa ada gerakan sama sekali seperti sedang berpikir lebih mendalam tentang omongan kakek yang tadi menegurnya.
Ditengah lamunannya tiba-tiba diantara kerumunan orang  yang mengelilingi karyo bersuara
“Dasar orang gila.”
“Iya. Masukan saja ke rumah sakit jiwa.”
“Ikat dia! Jangan sampai lepas.”
Orang-orang yang tadinya hanya menonton lalu berubah menjadi liar. Sebagian dari mereka lalu naik ke atas  mobil untuk menangkap Karyo. Meski ada pembrontakan dari Karyo, namun itu pun hanya  sia-sia. Setelah  tertangkap, Karyo lalu diikat di sebuah pohon. Setelah keadaan kondusif, satu persatu orang pergi meninggalkan Karyo untuk melakukan aktivitas kembali. Hingga tersisa tukang sapu jalanan yang menunggui Karyo. 
Di bawah pohon yang cukup rindang itulah Karyo diikat. Melihat beberapa pohon yang ada didepannya sengaja dipaku dan ditempel wajah-wajah yang terpaksa senyum. dilanjutkan tertamparnya muka Karyo dengan liflet dari para calon-calon pejabat. dan tanpa sengaja melihat mobil yang berhenti persis di depan matanya kira-kira berjarak 10 meter juga dengan gambar para calon-calon pejabat, membuat Karyo semakin optimis bahwa sebentar lagi akan menjadi pejuang.
“Lebih baik aku memandang taxi yang ada gambar promosi kebun binatang dari pada gambar sebelumnya. Heh, mas yang duduk disana, bisa lepaskan  saya”
“Tidak, nanti jika aku lepaskan, kamu akan mencelakakanku. Tunggu sebentar lagi. Mobil ambulance rumah sakit jiwa katanya akan segera datang ke sini”
“Aku tidak gila.”
“Ya, memang kamu tidak gila, namun kurang waras.”
“Memangnya ada  perbedaan orang gila dan orang kurang waras ?”
“Tidak ada perbedaan. Sudah. Hentikan pertanyaanmu.”
“He-he-he. Karyo tertawa menyindir. Aku yakin mas ini juga sedang banyak masalah, tapi tidak bisa berbuat apa-apa.”
“Apa maksudmu. Jangan sok membaca pikiran orang!”
“Ya boleh kan asal menebak. Aku hanya  mengira-ngira, toh orang-orang kita juga demikian gemar mengira-ngira. Entah fakta atau rekaan,  yang terpenting adalah dapat menjadi bahan obrolan.”
“Apa maumu? Memang. Aku sedang banyak masalah tapi itu bukan urusanmu”
“He-he-he. Karyo tertawa mengejek lagi, namun kali ini tidak sepertinya tadi lebih ringan.”
Tiba-tiba tukang penyapu jalan pun membuka takbir permasalahannya kepada Karyo.
“Aku ini sudah lama berharap agar pekerjaanku dihargai. Tapi selama menunggu, tidak ada satu pun manusia menghargai pekerjaanku ini. Aku tiap hari harus bangun pagi, bahkan sebelum jago-jagoku berkokok aku sudah bekerja, tapi bentuk penghargaannya tidak sebanding dengan jerih payah yang kulakukan. Ingin sekali aku tinggalkan pekerjaan ini, tapi aku mau bekerja apa? Aku hanya punya ijazah SD. Terkadang dalam mimpi aku menagih janji kemerdekaan itu, tapi sampai saat ini janji itu hanya sebatas dipaksa masuk ke dalam buku pelajaran PKN.  Aku masih hafal sila ke 5. Namun untuk adil yang bagaimana aku tidak tahu pemikiran orang-orang dahulu hingga sekarang pemikiran pemikiran tentang keadilan itu pun juga masih menjadi sesuatu hal yang tabu.”
“Memang. tapi untuk apa menunggu. Jangan salah artikan kemerdekaan. Kita harus terus berjuang,  biarlah orang yang diatas sana sekarang sedang menikmati hasil dari jerih payahnya berjuang demi duduk disinggasana. Namun aku yakin dari sekian orang-orang yang duduk disinggasana sana, masih ada orang yang baik. Orang yang benar-benar berjuang demi rakyat, meski kadang terganjal dengan partainya,  karena tidak semua orang itu benar dan tidak semua orang itu salah ,namun kita harus berusaha tidak menjadi orang yang salah.”
“ Apakah demikian? Apa kita harus berjuang? ”
Tiba-tiba tukang sapu itu tertawa dengan lantangnya sambil berkata
“Ha-ha-ha, terserahlah. Terserah apa ucapanmu.”
Karno pun tertawa. Mereka berdua akhirnya tertawa bersama ditengah pepohonan itu.
“Aku sudah bercerita tentang kegelisahanku, tapi aku belum tahu apa masalahmu. Apa maksudmu dengan negara ini akan hancur?”
Karyo pun terdiam sesaat.
Semilir angin kota siang itu menamani Karyo yang masih terikat di bawah pohon dan tukang sapu jalanan yang sedang duduk di sebelah Karyo. Lalu lalang kendaraan yang mengebulkan asap , dan orang-orang yang sibuk dengan aktifitasnya sendiri- seperti tidak terjadi sesuatu yang lalu.
“Orang-orang sekarang tidak tahu. Bahwa negara kita sedang dikepung oleh sesuatu yang akan ingin menghancurkan negara kita. Armada-armada mereka sudah disiapkan untuk menghancurkan negara kita. Kita sudah disusupi inteljen-inteljen yang memperalat orang dalam ,tujuannya juga ingin menghancurkan negara kita. Hanya saja kita tidak tahu harus berbuat apa. Kita harus membantu para tentara-tentara kita. Karena tidak hanya tentara saja yang bela negara, kita juga harus wajib bela negara dengan cara apapun. Semangat patriotik kita harus seperti Kumbakarna. Totalitas”.
“Apakah demikian? Lantas aku harus berbuat apa?”
 Karyo diam sesaat.
“Kau teruskan saja perkerjaanmu dengan ikhlas, jangan  mengemis pada negara, jangan kebanyakan menuntut, apa yang kau tuntut selama ini juga tidak ada hasil sama sekali. Jaga kerukunan dengan temanmu, keluargamu, semua orang. Jangan sampai mudah teradu domba. Karena sekarang marak yang teradu domba. Hanya gara-gara hal sepele itu bisa saja salah satu trik lama untuk memecah belah persatuan rakyat negara ini”.
Tukang sapu pun terdiam. Berpikir mengenai  hal yang disampaikan Karyo barusan. Seperti ada hal yang membuat semangatnya bangkit kembali. Sembari melihat lalu lalang mobil mewah , ada juga bus-bus kota yang sedang penuh sesak para penumpang.
 
“Mas tukang sapu, apakah ikatan ini bisa boleh dilepas?”
“Maaf mas. Tidak boleh, nanti setelah mobil ambulance datang”

Cerpen Menunggu Ambulance

0 Response to "Cerpen Menunggu Ambulance"

Post a Comment